Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perbedaan IGI dan PGRI sebagai Organisasi Profesi Besar di Indonesia

Perbedaan IGI dan PGRI sebagai Organisasi Profesi Besar di Indonesia versi sekjen IGI Mampuono, S.Pd, S.Pd, M.Kom:
Baca atau lihatlah film tentang perjuangan HOS Cokroaminoto. Kisah kehidupan pergerakan beliau sungguh inspiratif.Saya merasakan kerisauan yang sama dengan beliau pada jaman yang berbeda. Kerisauan akan pendidikan di negeri ini. Kerisauan akan mutu guru di negeri ini. Kerisauan akan mindset mereka yang bisa meneggelamkan diri mereka ke dalam sesuatu yang justeru menghancurkan diri.

Sekarang saya mau bertanya kepada Bapak Ibu semuanya, apa yang menjadikan Bapak Ibu menekuni profesi guru?

Kalau sudah ketemu, lalu Bapak Ibu ingin menjadi guru yang seperti apa?

Apakah menjadi guru yang BIASA SAJA, ataukah keluar dari kerumunan guru biasa dan menjadi guru yang luar biasa.
Ingat bahwa guru yang luar biasa adalah GURU YANG MENGINSPIRASI. Nah jika ingin inspirasi Bapak dan Ibu sampai ke seluruh Indonesia,bahkan dunia, pilihlah organisasi profesi yang sesuai dan mendukung untuk itu. Dan IGI dengan Sharing and Growing Together"nya akan menjadi wadah yang tepat dan lahan yang subur untuk semua itu. Jangan sampai ketika kita sudah  tua dan menjadi pensiunan guru,ketika kita menunggu ajal, tiba-tiba terbersit penyesalan,kenapa dulu kita hidup hanya menjadi diri kita yang biasa saja. Yang kebermanfaatannya bagi umat, manusia lain, atau alam semesta sangat terbatas. Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna untuk umat. Sesungguhnya sebaik-baik guru adalah yang paling tinggi kegunaannya untuk muridnya, kpleganya, agama,  bangsa dan negaranya, umat manusia, dan alam semesta.

So, tetaplah on the track dengan terus membesarkan IGI. Insya Allah berkah. Amin.
Saya juga ingin menggaris bawahi bahwa kemandirian dan kreativitas IGI tidak tergantung kepada pejabat tertentu. Moto kita sharing and growing together. Yang ada adalah, para tokoh dan orang penting di negeri ini yang berpikir lurus tentang pendidikan kemudian jatuh cinta kepada IGI. Kemudian mereka diangkat menjadi para pembina, di antaranya P. Indra Jati Sidi, Dirjen dikmenum, Pak Gatot Hari Prijowirjanto Dirjen SMK yang lalu menjadi  Ketua SEAMOLEC, trus sekarang ketua SEAMEO, Pak Baidowi dirjen PMPTK dll.

Saya saat itu berpikir bahwa setiap guru negara lain yang mengunjungi stand saya dan melihat presentasi saya harus berasumsi bahwa guru Indonesia hebat-hebat! Maka saya harus membuat kesan itu. Dan tampaknya itu cukup berhasil. Banyak di antara mereka yang kemudian mencantumkan komentar positif dan mengajak foto bersama. Hingga kemudian pafa saat Gla Dinner di halaman museum Hanoi yang didesain dangat mewah diumumkanlah satu-persatu juaranya. Dari 200 guru fiambillah 15 yang terbaik. Dan saya beruntung menjadi salah satunya. Saat itulah muncul cita-cita saya bahwa guru-guru Indonesia minimal harus seperti saya dan kalau bisa lebih. Kesuksesan bagi saya adalah ketika bisa melihat guru Indonesia pintar, berakhlak, sejahtera, dan bermartabat. Jika semua itu belum terjadi berarti saya belum sukses. Karena itulah ketika saya ditawari bergabung dengan IGI oleh mas Ihsan Sekjen pada hari-hari di Hanoi itu, tanpa pikir panjang langsung saya terima. Slogannya, "Sharing and Growing Together" itulah yang membuat saya jatuh cinta. Kenapa, karena saya sudah lama menganut paham tangan di atas, bahwa kebahagiaan adalah memberi. Semua orang berhak memilih cara untuk bahagia kan?

Saya tertarik dan bergabung dengan Klub Guru Indonesia yang sejarang menjadi IGI sejak tahun April 2008. Hampir 8 tahun yang lalu. Ketika itu saya berada di Hanoi untuk mengikuti Microsoft Asia Pacific Innovatif teacher competition. Saya tiba-tiba merasakan sesuatu hal yang tidak biasa. Sebuah nasionalisme yang tiba-tiba muncul. Sebuah semangat yang ingin meninjukkan bahwa guru-guru Indonesia tidak kalah dengan guru-guru yang berasal dari negara maju. Bahwa kita bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan mereka yang berasal dari Jepang, Korea, Kanada, Australia, New Zealand, dll.

Hidup di dunia yang relatif begitu singkat membuat kita harus membuat pilihan-pilihan bukan?
Apakah mau memilih hidup singkat yang berarti atau tidak punya arti? Apakah mau memilih hidup panjang yang penuh makna dan dan berkah atau sia-sia?
Terakhir saya beritahu. Bergabung dalam sebuah pergerakan bukan tanpa resiko. Waktu, tenaga, pikiran, biaya, dan keikhlasan kita, semunya harus kita pertaruhkan. Ingat hukum rintangan, semakin tinggi rintangan yang dilalui, akan semakin tinggi pula kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh. Bayangkan jika Bapak Ibu berjuang dalam sebuah pergerakan dan semua datar-datar saja, kira-kira bagaimana hasilnya?

Nah, kita harus melihat bagaimana para pelopor yang sudah bersusah payah mendirikan organisasi ini. Cari mereka, tanya langsung, kalau tidak sempat, googling! Serap energi mereka!
Tidak ada makan siang yang gratis. Semua perjuangan penuh resiko dan butuh pengorbanan.Pengorbanan paling sulit ditempuh seorang guru adalah MELEK DAN MEMBACA! BELAJAR LAGI HAL-HAL YANG BARU. Bagaimana mungkin kita bisa menginspirasi sebagai guru yang hebat jika membaca dan belajar lagi tidak pernah.

Ingat Bapak Ibu, pepatah Rajin Pangkal Pandai masih berlaku, dan dengan beraktivitas dalam IGI insya Allah dengan suka hati atau terpaksa kita akan banyak mengamalkan pepatah itu. Selamat memanfaatkan 1/3 malam terakhir.

Semoga lebih bisa memahami dan mengenal IGI, IGI dan PGRI sama sama organisasi profesi guru, bersinergi bergandengan untuk memajukan pendidikan Indonesia, semua punya cara, semua punya jalan, dan cara serta jalan boleh berbeda tp arah tetaplah harus sama demi kebaikan dan kemajuan pendidikan Indonesia.

Posting Komentar untuk "Perbedaan IGI dan PGRI sebagai Organisasi Profesi Besar di Indonesia"